Rabu, 17 Agustus 2011

Workshop Aplikasi Warna "Coluorburatif”

(DKV-Universitas Paramadina). Workshop aplikasi warna, kerjasama Universitas Paramadina dengan Merck, sebuah perusahaan pigmen warna yang diadakan pada tanggal 24 Nopember 2009 bertempat di Ruang C1 dan Plataran Gedung Studio C
Mahasiswa program studi DKV turut serta dalam workshop “Coluorburatif”, yang bertujuan memberikan wawasan kepada mahasiswa mengenai warna dan aplikasinya dalam karya desain.
Warna tidak hanya memberikan keindahan melalui kombinasinya, namun juga memiki sImbol, makna dan nuansa dari desain. Pengolahan dan pemilihan warna yang tepat dapat mempertegas makna dari pesan yang disampaikan atau yang dikomunikasikan dalam desain.
Kegiatan ini memberi pengenalan kepada mahasiswa bahwa pewarna tidak hanya diperoleh dari cat yang kita beli dipasaran, namun warna bisa kita ciptakan sendiri melalui pewarna produk. Desain yang dihasilkan bisa bebas menggunakan warna yang menurut kita lebih cocok, tepat dan sesuai dengan citra yang diharapkan, tred, mode atau selera konsumen.
Workshop ini juga memberikan wawasan mengenai keanekaragaman warna. Karena sebagai perusahaan yang bergerak dibidang pigmen warna maka tentunya banyak menghasilkan warna-warna baru yang masih jarang dan sedang trend digunakan.
Kegiatan ini sendiri baru awal dari kerja sama Univ Paramadina dengan Merck. Melihat minat mahasiswa yang cukup besar maka kita sepakat kedepannya direncanakan akan ada kegiatan lagi dengan tema berbeda dan semakin menjurus pada kebutuhan di dunia profesi dan industry. Hadir dalam acara tersebut wakil dari PT. TBS (perusahaan sepatu lokal merek Connec) sebagai undangan, dimana perusahaan ini merupakan salah satu rekanan universitas dari sektor industri .

Renaisans Desain Komunikasi Visual


Perkembangan dahsyat industri desain komunikasi visual (DKV) dewasa ini, tak lepas dari peran dunia akademis. Kurikulum, sarana prasarana, kompetensi dan kapasitas dosen sebagai garda depan pembaruan DKV ikut menentukan keberadaannya. Berdasar kenyataan tersebut, ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana mendekonstruksi mitos bahwa kurikulum pendidikan itu selalu ketinggalan jaman. Hal ini hanya bisa dilakukan manakala ada hubungan sinergis antara jagad industri, paraalumnus, paradosen, dan institusi pendidikan desain komunikasi visual. Dalam catatan saya, pihak industri menginginkan lulusan desain komunikasi visual siap pakai dengan segala amunisi yang dimiliki. Baik skill drawing, pencarian dan pengungkapan ide gagasan, pengetahuan dan konsep desain, kepiawaian berkomunikasi, maupun penguasaan software dan hardware komputer. Di sisi lain, pihak industri tidak sanggup memikul tanggung jawab sebagai ‘’sekolah lanjutan’’ bagi lulusan perguruan tinggi yang akan memasuki dunia industri komunikasi visual.
Tuntutan dan keinginan semacam itu hampir pasti tidak pernah bisa dipenuhi. Hal itu terjadi, karena pengadaan sarana dan prasarana di perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi desain komunikasi visual, baik swasta apalagi negeri, tidak bisa dengan serta merta mengikuti perkembangan information technology yang melesat dahsyat. Selain itu, menurut amatan saya adalah keberadaan dosen pengampu yang pecah menjadi tiga kubu. Pertama, dosen full akademik. Keberadaannya kurang mengetahui perkembangan industri desain komunikasi visual yang sebenarnya. Aktivitas kesehariannya adalah: mengajar, mengajar, dan mengajar. Kedua, dosen yang berorientasi ’’mengoleksi’’ jabatan struktural. Dosen tipe kedua ini hari-harinya lebih disibukkan untuk mengejar kenaikan pangkat fungsional agar bisa menjadi pejabat struktural di lingkungan pekerjaannya. Dosen semacam ini sangat ambisius untuk penjadi priyayi akademik dengan mengupayakan aktivitas kesehariannya sebagai pejabat struktural. Selesai menjabat sebagai Ketua Program Studi atau Ketua Jurusan, maka ia akan mencalonkan diri menjadi Wakil Dekan. Pasca Wakil Dekan, menapaki tangga jabatan struktural yang lebih tinggi lagi: Dekan, Wakil Rektor, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, atau bahkan Rektor.     
Ketiga, dosen dengan seragam praktisi murni yang waktunya lebih banyak difokuskan untuk mencari billing, mengejar klien, dan mencari ide desain baru untuk eksekusi verbal visual demi mempertahankan eksistensi pekerjaan kreatifnya yang sudah menjadi darah dagingnya. Karena itulah, sudah saatnya dunia industri jasa komunikasi visual maupun ’’industri pendidikan desain komunikasi visual’’ saling membagi pengalaman dan membantu satu sama lain. Karena setiap penyelenggara pendidikan desain komunikasi visual memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri. Jadi ada kebutuhan simbiosis mutualisma ala sekolah desain komunikasi visual. Yang bisa menjadi pertimbangan adalah memahami karakter dan visi dari pendidikan desain komunikasi visual itu sendiri.
Sebagai studi komparatif seperti diungkapkan Henricus Kusbiantoro, sekolah desain di New York dan San Francisco cenderung lebih “komersial” dan sangat memenuhi kebutuhan industri, para praktisi pun senang terlibat di sana. Berbeda bila kita bertemu dengan sekolah desain di luar New York seperti Cranbrook Academy of Art yang memiliki spesialisasi di bidang eksperimentasi desain dan tipografi. Sementara itu, Yale School of Art dan RISD kuat dalam proses kreatif dan metode Swiss Design. Terkadang mereka “kurang siap” saat memulai karir di kota besar, ini satu dilema yang tak dapat dihindari. Kedua kubu ini, yaitu sekolah “akademis” dan “praktis/komersial” saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling membutuhkan. Kenyataan semacam itu perlu kita catat dengan lapang dada mengingat kita semua mengharapkan munculnya – meminjam terminologinya Enin – ’’renaisans desain komunikasi visual’’ Indonesia secara menyeluruh. Untuk itu kita perlu melakukan gerakan renaisans dan evaluasi berbagai bidang terkait dengan desain komunikasi visual. Selama ini kita banyak berkiblat pada pendidikan desain versi Bauhaus. Sayang dalam perkembangannya kita hanya menyontoh sistem pendidikan dasar secara harafiah dan kaku. Tetapi kita melupakan peran Bauhaus sebagai laboratorium desain yang dinamis. Di kampus Bauhaus mahasiswa didorong untuk melakukan eksplorasi, menemukan sesuatu (discover and invent) dan kemudian menuliskan temuan-temuannya.
Mahasiswa juga didorong untuk melakukan evaluasi, mencari dasar pembenaran, memberikan kritik positif dan negatif terhadap karya-karya sejarah. Sebaliknya, dosen jangan hanya mengatakan bahwa kita harus mengikuti panduan pendapat salah satu buku. Dalam konteks ini, tugas dosen adalah sebagai katalisator, memberikan studi banding atas materi-materi atau memberikan inspirasi dan apresiasi dari sudut pandang lain.
  Terkait dengan semangat pendidikan desain ala Bauhaus, sudah saatnya kita mengedepankan konsep ‘’have the end in mind’’. Artinya, kita membayangkan pengetahuan dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh mahasiswa lulusan desain komunikasi visual. Teori-teori dan pelatihan apa saja yang nanti dapat diaplikasikan agar ia bisa bekerja dan berkarya nyata.
Semuanya itu tentu harus dikonfirmasikan, disinergikan dan dikomunikasikan kepada parapihak yang berkompeten di lingkungan industri desain komunikasi visual dan diupayakan agar setiap tahun di-update, karena perkembangan industri desain komunikasi visual sangat dinamis. Setelah semuanya siap, kristalisasi dari konsep ‘’have the end in mind’’ itu direncanakan dan diejawantahkan dalam berbagai teori yang signifikan untuk diajarkan kepada parapeserta didik. Konsep semacam itu dalam perkembangannya lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual. Setelah itu direncanakan teori dan pelajaran setiap semester. Kemudian bahan dan substansi setiap pelajaran, cara pengajaran, kuantitas, kualitas, dan kompetensi, pengajarnya. Selanjutnya kita harus memastikan tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan akademis adalah pelajaran teori dan praktik yang nantinya dapat diaplikasikan dalam pekerjaan. Kalau ini tak dijalankan maka bisa seperti rel kereta api, sejajar tetapi tak ada titik temunya.
Perlu pula dilakukan persamaan pandangan dan pendapat antara dunia akademis dan dunia industri. Kemudian terus menerus diselaraskan dengan perkembangan jaman. Selain itu, mulai semester 4 atau 5, mahasiswa sudah diarahkan menjadi seorang spesialis karena di perusahaan senantiasa mengedepankan spesialisasi. Para pengajar seyogianya mengetahui dan dilatih dengan metode-metode pengajaran yang betul-betul dapat membimbing anak asuhnya. Mahasiswa (dan juga dosennya) perlu secara periodik memperoleh pengetahuan nyata melalui “dosen tamu” dari pihak industri. Pihak industri secara legawa bersedia melibatkan paraakademisi dalam berbagai kegiatan industri. Dengan demikian, informasi terkini tentang kebutuhan industri pun bisa ditangkap dengan mulus oleh institusi pendidikan desain komunikasi visual.
Dosen pengampu mata kuliah teori dan praktik yang terkait dengan desain komunikasi visual diberi kesempatan untuk mendalami berbagai macam teori dan praktik di industri melalui proses magang. Dosen tidak cukup magang sekali seumur hidupnya. Seyogianya secara periodik harus keliling bersinergi di antaranya dengan berbagai advertising agency, media spesialis, event organizer, production house, percetakan, penerbitan, dan studio desain komunikasi visual. Setelah itu setiap 2-3 tahun mengikuti refreshing course. Bukankah mendapatkan pengalaman secara komprehensif juga merupakan bagian dari suatu proses pendidikan? Jika hal tersebut bisa dilakukan secara sistematis maka niscaya kita bisa mengurangi kesenjangan antara dunia industri dengan lembaga pendidikan desain komunikasi visual.

DESIGN SHOWCASE IN PUBLIC AREA



(DKV-Universitas Paramadina). Pameran karya mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV), kali ini merupakan hasil dari karya mata kuliah DKV 4. Karya ini dipamerkan di lobby gedung A universitas Paramadina. Pameran ini berkolaborasi dengan mahasiswa Desain Produk Industri (DPI) yang menampilkan furniture dari mata kuliah DPI 4. Kolaburasi pameran ini merupakan aktivitas yang biasa dilakukan mahasiswa agar lebih mendekatkan desain dengan publik. Pameran tidak dilakukan di dalam ruang untuk merespon masyarakat langsung di area lokasi. Mahasiswa dapat melihat langsung bagaimana respon publik dan berkomunikasi langsung dengan siapapun. Pameran ini juga mendapat respon cukup baik dari masyarakat sivitas akademika, bahkan ada yang ingin membeli beberapa karya ini. Karya yang selesai dan layak tampil adalah tuntutan dari mata kuliah, dimana mahasiswa dilatih untuk membuat sesuatu yang bisa ditampilkan atau digunakan oleh orang lain. Hasil mata kuliah bukan berujung dikampus , tetapi pada pameran-pameran di ruang publik dan ini adalah salah satu ruang publik tersebut. Program studi desain mendorong mahasiswanya untuk berani tampil dalam berbagai kegiatan pameran di luar kampus.


ShareThis
 

KULIAH UMUM : Pemahaman Bahasa Visual, Perluasan Eksplorasi Desain


(DKV-Universitas Paramadina) Ilmu desain berujung pada kemampuan membuat karya yang estetis dan mampu menarik perhatian target konsumen atau audiensnya. Kemampuan ini ditunjang oleh kecermatan dalam memformulasikan unsur estetika dan komunikasi untuk mencapai tujuan. Kedua hal di atas harus ditunjang oleh satu kemampuan lagi, yaitu : pemahaman bahasa visual. Pemahaman ini menjadi pendukung kedua kemampuan utama tadi, sebagai wawasan dalam pertimbangan mengambil keputusan desain.
Desain menghubungkan atau menyambungkan komunikasi antara konsumen atau audiens melalui bahasa visual. Sebagaimana bahasa, yang divisualisasikan melalui berbagai huruf, maka komunikasi desain divisualisasikan melalui tanda yang mengandung arti atau maksud tertentu.
Kemampuan memahami tanda-tanda visual memberikan keluasan dalam eksplorasi bentuk untuk mencapai solusi yang maksimal. Sebaliknya keterbatasan wawasan dan pemahaman tanda-tanda visual menyebabkan desainer kesulitan mencari pendekatan-pendekatan bentuk baru yang inovatif, keluar dari pakem-pekem visual yang berlaku.
Kuliah umum ini menampilkan Bpk. Merwan Yusuf, MFA. Beliau adalah salah satu pakar dibidang seni, dan merupakan salah satu pengajar di Universitas Paramadina. Beliau merupakan lulusan Jurusan Seni Rupa di Eiocole Nationale Superiuer des Beaux Arts dan melanjutkan Studi Sejarah dan Peradaban di Ecole des Hautes en Sciences Sociales, di Paris. Selain aktivitasnya di bidang akademik, Bapak Merwan Yusuf menjadi seorang kurator diberbagai event.


ShareThis
 

Kuliah Umum Dr. Yasraf A. Piliang








(DKV-Universitas Paramadina). Setelah mampu menggambar dan memahami nirmana (berupa komposisi, warna, bentuk dsb.), maka langkah berikutnya adalah konsistensi dalam menerapkannya pada desain hingga terlatih membuat bentuk-bentuk yang memiliki nilai estetika. Selanjutnya, kemampuan ini diarahkan untuk meyampaikan pesan tertentu sesuai dengan tujuan untuk mengkomunikasikan pesan tertentu secara visual sesuai tujuannya.
Bentuk tidaklah berhenti pada pencapaian estetika, namun harus mencapai tujuan dari perancangan itu sendiri. Desain harus memiliki muatan komunikasi. Berbagai bentuk yang disusun dalam desain harus memiliki makna, tanda, simbol dan sebagainya yang akan ditangkap dan dimengerti dengan baik oleh audiensnya.
Untuk itu Program studi DKV mengadakan kuliah umum bertema “Semantika Desain”. Semantika ini adalah ilmu mengenai tanda dan makna. Kemampuan ini dapat dijadikan metode untuk mempertajam unsur komunikasi dalam desain.
Kuliah umum ini menghadirkan Bpk. Dr. Yasraf Amir P.,pakar semiotika dari Institut Teknologi Bandung. Kuliah umum ini menampilkan beberapa contoh aspek komunikasi dalam desain yang digambarkan dalam bentuk simbol, komposisi, warna, dan sebagainya. Dicontohkan pula bahwa ternyata pada saat beberapa gambar pada sebuah poster ditutup, maka terjadilah perubahan informasi dan makna.
Kuliah Umum ini diselenggarakan pada tanggal 23 Nopember 2009.




ShareThis
 

Workshop Aplikasi Warna "Coluorburatif”


(DKV-Universitas Paramadina). Workshop aplikasi warna, kerjasama Universitas Paramadina dengan Merck, sebuah perusahaan pigmen warna yang diadakan pada tanggal 24 Nopember 2009 bertempat di Ruang C1 dan Plataran Gedung Studio C
Mahasiswa program studi DKV turut serta dalam workshop “Coluorburatif”, yang bertujuan memberikan wawasan kepada mahasiswa mengenai warna dan aplikasinya dalam karya desain.
Warna tidak hanya memberikan keindahan melalui kombinasinya, namun juga memiki sImbol, makna dan nuansa dari desain. Pengolahan dan pemilihan warna yang tepat dapat mempertegas makna dari pesan yang disampaikan atau yang dikomunikasikan dalam desain.

Desain Komunikasi Visual (Program Studi/Prodi)

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mengembangkan bentuk bahasa komunikasi visual berupa pengolahan pesan pesan untuk tujuan sosial atau komersial, dari individu atau kelompok yang ditujukan kepada individu atau kelompok lainnya. Pesan dapat berupa informasi produk, jasa atau gagasan yang disampaikan kepada target audience, dalam upaya peningkatan usaha penjualan, peningkatan citra dan publikasi program pemerintah. Pada prinsipnya dkv adalah perancangan untruk menyampaikan pola pikir dari penyampaian pesan kepada penerima pesan, berupa bentuk visual yg komunikatif, efektif, efisien dan tepat. terpola dan terpadu serta estetis, melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran. elemen desain komunikasi visual adalah gambar/ foto, huruf, warna dan tata letak dalam berbagai media. baik media cetak, massa, elektronika maupun audio visual. akar bidang dkv adalah komunikasi budaya, komunikasi sosial dan komunikasi ekonomi. Tidak seperti seniman yang mementingkan ekspresi perasaan dalam dirinya, seorang desainer komunikasi visual adalah penterjemah dalam komunikasi gagasan. Karena itulah dkv mengajarkan berbagai bahasa visual yang dapat digunakan untuk menterjemahkan pikiran dalam bentuk visual.

Desain komunikasi visual

Desain komunikasi visual atau lebih dikenal di kalangan civitas akademik di Indonesia dengan singkatan DESKOMVIS pada dasarnya merupakan istilah penggambaran untuk proses pengolahan media dalam berkomunikasi mengenai pengungkapan ide atau penyampaian informasi yang bisa terbaca atau terlihat. Desain Komunikasi Visual erat kaitannya dengan penggunaan tanda-tanda (signs), gambar (drawing), lambang dan simbol, ilmu dalam penulisan huruf (tipografi), ilustrasi dan warna yang kesemuanya berkaitan dengan indera penglihatan.
Proses komunikasi disini melalui eksplorasi ide-ide dengan penambahan gambar baik itu berupa foto, diagram dan lain-lain serta warna selain penggunaan teks sehingga akan menghasilkan efek terhadap pihak yang melihat. Efek yang dihasilkan tergantung dari tujuan yang ingin disampaikan oleh penyampai pesan dan juga kemampuan dari penerima pesan untuk menguraikannya.